Kamis, 25 April 2013

UNAS DAN PENDIDIKAN BERKARAKTER



Setiap tahun, pelaksanaan UNAS selalu membawa korban. Mulai korban pembunuhan karakter sampai korban jiwa. Pendidikan yang seharusnya berfungsi sebagai pengembang kemampuan dan bakat siswa. Pendidikan seyogyanya menjadi proses dimana anak didik menjalani proses dari belum tahu menjadi lebih tahu, dari belum mengerti menjadi mengerti. Sehingga anak didik atau siswa bisa benar-benar merasa ikut andil dalam proses pendidikan dan merasa dimanusiakan. Sebagaimana pendidikan yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara; pendidikan yang memanusiakan manusia.
Tetapi sejauh ini, pendidikan di Indonesia memiliki wajah yang sangat jauh berbeda. Sekolah yang dijadikan sebagai satu-satunya lembaga yang diakui sebagai penyedia pendidikan sampai saat ini masih sangat dangkal dalam mengartikan dan melaksanakan pendidikan sendiri. Sekolah sangat mengekang kebebasan siswa untuk mengembangkan bakat dan kompetensinya karena sekolah hanya mau mengajarkan siswa pelajaran-pelajaran yang sudah di tetapkan di kurikulum. Kegiatan-kegiatan ekstra yang sebenarnya merupakan sarana bagi siswa untuk mengembangkan kompetensi dan bakat yang dimiliki juga tidak terlalu dipedulikan oleh sekolah dan pemerintah. Menurut mereka, kegiatan ekstra tidak memiliki manfaat dan hanya mengganggu kegiatan pembelajaran karena kegiatan ekstra tidak mendukung proses pembelajaran dan tidak ada hubungan sama sekali dengan pendidikan.
Semua ini menyebabkan siswa sebagai pelaksanan pendidikan yang juga objek dan subjek pendidikan merasa tidak dihargai dan diperlakukan selayaknya robot, bukan manusia. Peraturan dan sistem yang diterapkan sekolah begitu mengikat dan mengkerdilkan siswa untuk berkembang karena tolok ukur yang mereka pakai hanya berdasar nilai saja. Sedangkan aspek lain dari pendidikan seperti kompetensi sikap, tingkah laku dan akhlak siswa yang sebenarnya aspek paling penting dalam penciptaan pendidikan karakter diabaikan begitu saja. Sebaik apapun akhlak, sikap dan bakat siswa dibidang yang ditekuni tidak akan dianggap berhasil dan lulus apabila tidak memenuhi nilai kelulusan UAS/UAM dan UNAS.
Konsistensi pemerintah kepada inkonsistensinya semakin terlihat jelas. Konsistensi pemerintah untuk membuat program-program seperti penciptaan pendidikan berkarakter dan desentralisasi pendidikan sebagai akibat otonomi daerah. Yang kemudian dibenturkan dengan ditetapkannya UNAS sebagai satu-satunya penentu keberhasilan dan kelulusan belajar siswa dan sentralisasi kurikulum sebagai bentuk inkonsistensinya. Imbasnya, sekolah, guru dan penggiat pendidikan diarahkan pada satu dilemma. Disatu sisi ada keharusan untuk melaksanakan pendidikan karakter dan hak otonomi pendidikan tetapi disatu sisi mereka dihadang dengan UNAS, kurikulum dan kebijakan-kebijakan lain yang masih belum mampu mengapresiasi dengan baik kebutuhan pendidikan di seluruh nusantara.
Ketika keberhasilan proses belajar ditentukan hanya melalui angka-angka dan soal pilihan ganda, guru yang memiliki tugas untuk menjalankan pendidikan yang humanis dan berkarakter selanjutnya akan memilih untuk pragmatis. Hanya berkonsentrasi pada pelajaran yang diujikan dan diunaskan. Guru yang sebenarnya mempunyai fungsi mendidik dan mengajar akhirnya hanya memilih untuk menjalankan fungsi mengajar saja tanpa mau mendidik. Guru menjelma menjadi raja-raja kecil yang harus selalu dituruti dengan setiap peraturannya dan semakin mengkerdilkan siswa. Dalam proses pendidikan seperti ini, siswa akan terus tertekan dan menjadikan pendidikan sekolah sebagai penjara yang tak mereka cintai sama sekali.
Begitu sekolah menjadi sosok yang menakutkan dan menjemukan, program untuk meningkatkan APK sekolah juga akan menemui masalah. Karena siswa merasa jenuh dan tertekan, proses pembelajaran juga tidak akan maksimal. Penyerapan materi pelajaran disekolah juga menjadi terganggu. Akibatnya, setiap akhir pendidikan menjadi masa-masa menyeramkan bagi siswa. Hari-hari mereka diakhir sekolah menjadi hari yang melelahkan. Karena setiap hari pelajaran mereka semakin dikikis dan hanya fokus pada materi unas. Sedangkan pelajaran yang disukai dan dicintai siswa bukan selalu materi pelajaran unas. Pembunuhan karakter dan bakat siswa melalui unas.
Jika pendidikan karakter merupakan tujuan yang benar-benar ingin dicapai oleh pemerintah, sudah seharusnya mereka membuat model baru dalam penentuan keberhasilan belajar siswa. Karena unas sudah jelas bukanlah metode yang tepat untuk pembentukan pendidikan karakter. Unas telah terbukti memberikan dampak negatif yang besar bagi pendidikan di Indonesia. Tingginya angka siswa yang mengalami stress karena unas, munculnya korban-korban bunuh diri karena takut terhadap unas. Apabila sistem pendidikan yang seperti ini terus dilanjutkan tanpa ada usaha untuk serius membenahi pendidikan Indonesia, berapa banyak nyawa lagi yang harus dikorbankan untuk unas? Berapa banyak potensi-potensi pemuda kita yang runtuh karena tertekan dan stress? Berapa banyak karakter dan kejiwaan penerus bangsa ini yang akan dibunuh?
Pemerintah harus mau untuk benar-benar melihat akan realita yang terjadi, bukan hanya bersembunyi dibalik semua alasan politis mereka untuk membenarkan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah. Pendidikan karakter membutuhkan keberanian untuk berkorban. Pengorbanan untuk mau berjuang demi masa depan bangsa dan negara, pengorbanan untuk menolak setiap kepentingan golongan sektarian yang ingin mempolitisasi pendidikan, pengorbanan untuk melakukan perombakan dan penyesuaian pendidikan.
Untuk menciptakan pendidikan berkarakter, sistem pendidikan dan mindset pendidikan kita harus dibenahi dari dasarnya. Dari segi kebijakan sudah banyak dilakukan pembenahan untuk menciptakan pendidikan karakter, kecuali keseriusan dan kesiapan untuk memberikan desentralisasi pendidikan kepada daerah. Sayangnya, kebijakan yang telah dibuat tidak ditindak dengan serius, sistem pendidikan sekolah yang terlanjur pragmatis dan feodal harus dirubah. Mindset pendidikan mengenai kemampuan siswa dan pengkastaan pendidikan harus dirombak. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus diberikan pelatihan dan penataran mengenai pendidikan berkarakter dan bagaimana mengaplikasikannya di dalam kegiatan belajar mengajar. Fungsi mendidik pada guru harus dihidupkan kembali, agar guru tidak menjadikan profesinya sebagai pekerjaan saja yang hanya cukup mengajar karena tugas. Namun guru juga harus sadar bahwa dia adalah penentu keberhasilan masa depan anak bangsa.
Pendidikan yang memanusiakan manusia sebagaimana yang diajarkan dan dipraktikkan Ki Hajar Dewantara benar-benar harus ditanamkan dalam diri seorang guru. Tanpa revitalisasi guru dan sekolah yang merupakan pelaksana pendidikan, semua impian akan terciptanya pendidikan karakter juga generasi emas 2045 hanya akan menjadi utopia belaka.

*Penulis adalah mahasiswa Siyasah Jinayah dan aktifis Aliansi Mahasiswa BidikMisi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan anda dan kami tunggu komentarnya

 

Blogger news

Blogroll