Oleh: M. Fathur Rohman*
Setiap tahun, pelaksanaan UNAS selalu membawa korban. Mulai korban
pembunuhan karakter sampai korban jiwa. Pendidikan yang seharusnya berfungsi
sebagai pengembang kemampuan dan bakat siswa. Pendidikan seyogyanya menjadi
proses dimana anak didik menjalani proses dari belum tahu menjadi lebih tahu,
dari belum mengerti menjadi mengerti. Sehingga anak didik atau siswa bisa benar-benar
merasa ikut andil dalam proses pendidikan dan merasa dimanusiakan. Sebagaimana
pendidikan yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara; pendidikan yang memanusiakan
manusia.
Tetapi sejauh ini, pendidikan di Indonesia memiliki wajah yang
sangat jauh berbeda. Sekolah yang dijadikan sebagai satu-satunya lembaga yang
diakui sebagai penyedia pendidikan sampai saat ini masih sangat dangkal dalam
mengartikan dan melaksanakan pendidikan sendiri. Sekolah sangat mengekang
kebebasan siswa untuk mengembangkan bakat dan kompetensinya karena sekolah
hanya mau mengajarkan siswa pelajaran-pelajaran yang sudah di tetapkan di
kurikulum. Kegiatan-kegiatan ekstra yang sebenarnya merupakan sarana bagi siswa
untuk mengembangkan kompetensi dan bakat yang dimiliki juga tidak terlalu
dipedulikan oleh sekolah dan pemerintah. Menurut mereka, kegiatan ekstra tidak
memiliki manfaat dan hanya mengganggu kegiatan pembelajaran karena kegiatan
ekstra tidak mendukung proses pembelajaran dan tidak ada hubungan sama sekali
dengan pendidikan.
Semua ini menyebabkan siswa sebagai pelaksanan pendidikan yang juga
objek dan subjek pendidikan merasa tidak dihargai dan diperlakukan selayaknya
robot, bukan manusia. Peraturan dan sistem yang diterapkan sekolah begitu
mengikat dan mengkerdilkan siswa untuk berkembang karena tolok ukur yang mereka
pakai hanya berdasar nilai saja. Sedangkan aspek lain dari pendidikan seperti
kompetensi sikap, tingkah laku dan akhlak siswa yang sebenarnya aspek paling
penting dalam penciptaan pendidikan karakter diabaikan begitu saja. Sebaik
apapun akhlak, sikap dan bakat siswa dibidang yang ditekuni tidak akan dianggap
berhasil dan lulus apabila tidak memenuhi nilai kelulusan UAS/UAM dan UNAS.
Konsistensi pemerintah kepada inkonsistensinya semakin terlihat
jelas. Konsistensi pemerintah untuk membuat program-program seperti penciptaan
pendidikan berkarakter dan desentralisasi pendidikan sebagai akibat otonomi
daerah. Yang kemudian dibenturkan dengan ditetapkannya UNAS sebagai
satu-satunya penentu keberhasilan dan kelulusan belajar siswa dan sentralisasi
kurikulum sebagai bentuk inkonsistensinya. Imbasnya, sekolah, guru dan penggiat
pendidikan diarahkan pada satu dilemma. Disatu sisi ada keharusan untuk
melaksanakan pendidikan karakter dan hak otonomi pendidikan tetapi disatu sisi
mereka dihadang dengan UNAS, kurikulum dan kebijakan-kebijakan lain yang masih
belum mampu mengapresiasi dengan baik kebutuhan pendidikan di seluruh
nusantara.
Ketika keberhasilan proses belajar ditentukan hanya melalui
angka-angka dan soal pilihan ganda, guru yang memiliki tugas untuk menjalankan
pendidikan yang humanis dan berkarakter selanjutnya akan memilih untuk
pragmatis. Hanya berkonsentrasi pada pelajaran yang diujikan dan diunaskan.
Guru yang sebenarnya mempunyai fungsi mendidik dan mengajar akhirnya hanya
memilih untuk menjalankan fungsi mengajar saja tanpa mau mendidik. Guru
menjelma menjadi raja-raja kecil yang harus selalu dituruti dengan setiap
peraturannya dan semakin mengkerdilkan siswa. Dalam proses pendidikan seperti
ini, siswa akan terus tertekan dan menjadikan pendidikan sekolah sebagai
penjara yang tak mereka cintai sama sekali.
Begitu sekolah menjadi sosok yang menakutkan dan menjemukan,
program untuk meningkatkan APK sekolah juga akan menemui masalah. Karena siswa
merasa jenuh dan tertekan, proses pembelajaran juga tidak akan maksimal.
Penyerapan materi pelajaran disekolah juga menjadi terganggu. Akibatnya, setiap
akhir pendidikan menjadi masa-masa menyeramkan bagi siswa. Hari-hari mereka
diakhir sekolah menjadi hari yang melelahkan. Karena setiap hari pelajaran
mereka semakin dikikis dan hanya fokus pada materi unas. Sedangkan pelajaran
yang disukai dan dicintai siswa bukan selalu materi pelajaran unas. Pembunuhan
karakter dan bakat siswa melalui unas.
Jika pendidikan karakter merupakan tujuan yang benar-benar ingin
dicapai oleh pemerintah, sudah seharusnya mereka membuat model baru dalam
penentuan keberhasilan belajar siswa. Karena unas sudah jelas bukanlah metode
yang tepat untuk pembentukan pendidikan karakter. Unas telah terbukti
memberikan dampak negatif yang besar bagi pendidikan di Indonesia. Tingginya
angka siswa yang mengalami stress karena unas, munculnya korban-korban bunuh
diri karena takut terhadap unas. Apabila sistem pendidikan yang seperti ini
terus dilanjutkan tanpa ada usaha untuk serius membenahi pendidikan Indonesia,
berapa banyak nyawa lagi yang harus dikorbankan untuk unas? Berapa banyak
potensi-potensi pemuda kita yang runtuh karena tertekan dan stress? Berapa
banyak karakter dan kejiwaan penerus bangsa ini yang akan dibunuh?
Pemerintah harus mau untuk benar-benar melihat akan realita yang
terjadi, bukan hanya bersembunyi dibalik semua alasan politis mereka untuk
membenarkan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah. Pendidikan karakter
membutuhkan keberanian untuk berkorban. Pengorbanan untuk mau berjuang demi
masa depan bangsa dan negara, pengorbanan untuk menolak setiap kepentingan
golongan sektarian yang ingin mempolitisasi pendidikan, pengorbanan untuk
melakukan perombakan dan penyesuaian pendidikan.
Untuk menciptakan pendidikan berkarakter, sistem pendidikan dan
mindset pendidikan kita harus dibenahi dari dasarnya. Dari segi kebijakan sudah
banyak dilakukan pembenahan untuk menciptakan pendidikan karakter, kecuali
keseriusan dan kesiapan untuk memberikan desentralisasi pendidikan kepada
daerah. Sayangnya, kebijakan yang telah dibuat tidak ditindak dengan serius,
sistem pendidikan sekolah yang terlanjur pragmatis dan feodal harus dirubah.
Mindset pendidikan mengenai kemampuan siswa dan pengkastaan pendidikan harus
dirombak. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus diberikan pelatihan dan
penataran mengenai pendidikan berkarakter dan bagaimana mengaplikasikannya di
dalam kegiatan belajar mengajar. Fungsi mendidik pada guru harus dihidupkan
kembali, agar guru tidak menjadikan profesinya sebagai pekerjaan saja yang
hanya cukup mengajar karena tugas. Namun guru juga harus sadar bahwa dia adalah
penentu keberhasilan masa depan anak bangsa.
Pendidikan yang memanusiakan manusia sebagaimana yang diajarkan dan
dipraktikkan Ki Hajar Dewantara benar-benar harus ditanamkan dalam diri seorang
guru. Tanpa revitalisasi guru dan sekolah yang merupakan pelaksana pendidikan,
semua impian akan terciptanya pendidikan karakter juga generasi emas 2045 hanya
akan menjadi utopia belaka.
*Penulis adalah mahasiswa Siyasah Jinayah dan aktifis Aliansi
Mahasiswa BidikMisi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda dan kami tunggu komentarnya