Jumat, 03 Juli 2015

Mempertanyakan Solidaritas dari Solidaritas

Nama merupakan salah satu hal sakral bagi orang jawa pun orang muslim. Bagi mereka, nama akan mampu memberikan dampak yang besar bagi keberlangsungan mereka yang dinamai. Entah itu benda keramat, perkumpulan apalagi untuk seorang anak. Nama menjadi perkara yang tidak bisa sembarangan disematkan. Sebagaimana ketika seorang ingin memberikan nama untuk sesuatu yang penting, mereka akan berkonsultasi atau meminta rekomendasi nama yang sesuai dari orang yang mereka yakini mampu. Biasanya itu dilakukan dengan mendatangi guru spiritual.
Nama disematkan untuk menjadi doa bagi yang dinamai, juga sebagai harapan untuk keberlanjutan mereka yang dinamai. Jika pepatah barat mengatakan “apa arti sebuah nama?” maka di wiliyatah timur, nama sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Dipercayai, nama bisa memberikan sumbangsih bagi proses kehidupan yang diberi nama. Jika nama yang diberikan untuk seorang anak sesuai dengan gambaran kepribadian masa depan si anak, maka nama tersebut akan memperlancar proses kehidupannya. Jika namanya tidak sesuai, tidak jarang nama menjadi salah satu kambing hitam dari setiap kesialan yang mereka terima. Dengan sebutan ‘kabotan jeneng’ atau dalam bahasa indonesia ‘keberatan nama’.
Dalam dunia keorganisasian atau bahkan bisnis, memberi nama organisasi atau perusahaan adalah hal yang tidak bisa dibilang sepele. Bahkan tidak jarang mereka harus membayar mahal untuk mendapatkan nama yang sesuai dengan organisasi atau perusahaan mereka. Ada keyakinan bahwa nama selain sebagai label atau branding juga memiliki peran dalam menentukan kesuksesan dari organisasai tersebut.
Dari arti pentingnya nama tersebut, kemudian teringat nama dari salah satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang diberi nama Solidaritas. Sebuah nama yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dirumuskan sebagai berikut: sifat satu rasa (senasib dsb); perasaan setia kawan. Kata yang memiliki arti mendalam terutama jika disesuaikan dengan sebuah organisasi. Dimana kesatuan perasaan, setia kawan, menjadi salah satu tonggak utama menjalankan organisasi sebelum menuju tanggung jawab dan ranah praktis lainnya.
Diluar apa yang diinginkan pendiri LPM ini dengan memberinya nama Solidaritas, dan diluar bagaimana latar belakang penentuan namanya. Jika sesuai dengan teori bahwa nama adalah doa dan representasi dari harapan mereka yang memberikan nama, maka seharusnya mereka yang berada dalam organisasi ini memiliki kesatuan rasa serta kesetia kawanan mencapai tujuan atau setidaknya untuk menjalankan roda organisasi. atau kemungkinan yang lain adalah bahwa LPM ini akan memiliki kesetia kawanan, kepedulian, simpati kepada sesama LPM lainnya. Atau lebih jauh lagi kepada masyarakat kampus yang merupakan pasar dari produk media mereka.
Dan bagaimanakah kenyataan dari kondisi Solidaritas itu sendiri saat ini? Adakah rasa kesetia kawanan, satu rasa, kepedulian itu didalam tubuh organisasi? Atau apakah Solidaritas telah memiliki kepedulian kepada LPM lainnya? Bagaimana solidaritas dari Solidaritas bagi masyarakat kampusnya?
Sudah banyak wacana yang diungkapkan. Banyak pula kata manis dan progres ideal bagaimana seharusnya Solidaritas terdengar. Yang bahkan diingkari oleh mereka yang mengucapkan wacana dan ideal itu sendiri.
Solidaritas adalah lembaga pers, yang berjuang melalui goresan pena. Solidaritas adalah perjuangan mahasiswa mencari keadilan, melawan ketidak benara. Solidaritas adalah keluarga yang harusnya saling jujur, saling terbuka, saling mesra. Solidaritas tempat untuk beljar, berproses serta berjuang bersama. Solidaritas adalah tempat yang disediakan bagi mereka yang ingin mengsah idealisme dan menuangkan dalam perjuangan tulisan pena. Solidaritas bukan tempat untuk saling mengelabuhi dan mencari keuntungan pribadi. Solidaritas tempat untuk berproses dengan jujur, saling percaya serta menjalankan semua proses sesuai dengan ideal yang seharusnya.
Jika ingin mencari keuntungan pribadi, maka jangan di Solidaritas. Jika tak ingin berproses jangan di Solidaritas. Jika tak mampu jujur jangan di Solidaritas. Mungkin setidaknya begitulah ideal seharusnya.
Lalu bagaimana solidaritas dari Solidaritas itu sendiri? Silakan menafsiri sebagaimana yang telah dialami.

Jumat, 05 Desember 2014

Ironi Sebuah Universitas Islam Negeri



Pernah ada dalam pikiran saya bahwa universitas adalah barometer pembaruan, mahasiswanya agen perubahan, dan kampusnya dipimpin rektor inspiratif. Rhenald Kasali
Sampai saat ini, Indonesia mempunyai ratusan sampai ribuan Perguruan Tinggi. Baik yang berstatus negeri maupun swasta. Kampus yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) umumnya adalah kampus umum sedangkan yang di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) adalah kampus yang “berhaluan” Islam. Tulisan ini tidak hendak membahas kampus umum, karena pada umumnya mereka tidak bermasalah. Akan tetapi hendak mengupas ironi kampus Islam di bawah naungan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama. Khususnya yang berstatus negeri. Lebih khusus lagi yang berada di Surabaya.
Tahun 2013 lalu, lima STAIN disetujui oleh Presiden Republik Indonesia beralih naik menjadi IAIN, yaitu STAIN Ternate, STAIN Palu, STAIN Pontianak, STAIN Padang Sidimpuan, dan STAIN Tulung Agung. Kelima IAIN baru ini diresmikan perubahannya oleh Menteri Agama, diawali dengan peresmian IAIN Palu pada tanggal 1 Desember 2013, dan berturut-turut diikuti oleh empat IAIN lainnya. Peresmiannya sudah selesai semua sebelum akhir tahun 2013.

Menyatukan “Pelangi” Nusantara dengan Multikuturalisme




Pelangi. Tidak ada yang menafikan keindahannya. Sebuah jembatan yang menjadi jalan bagi para bidadari kahyangan untuk melakukan perjalanan ke bumi, pun sebaliknya. Jembatan semu yang tercipta dari bias sisa air hujan yang terkena cahaya matahari. Terdiri dari beberapa warna yang berbeda, bersatu dalam satu arah yang sama. Saling melengkapi dan tak pernah mencoba memenangkan diri sendiri mendominasi jembatan ini dengan hanya satu warna saja. Karena dari kombinasi yang indah dari warna yang berbeda-beda itulah kemudian pelangi ditasbihkan menjadi jalan bagi para bidadari yang juga tanda dari sebuah keindahan yang tinggi.
Seandainya segala macam warna-warni keberagaman di Indonesia dapat saling memahami peran masing-masing dan saling menjaga satu sama lain sebagaimana pelangi, betapa akan menjadi indah Indonesia. Dengan beribu kebudayaan yang hidup didalamnya, berkembang dan saling menegaskan perannya masing-masing menciptakan kebudayaan nasional yang benar-benar Bineka Tunggal Ika – bukan sekedar semboyan saja.
Sebagai negara dan bangsa yang lahir dari keberagaman suku, ras, agama dan budaya seharusnya Indonesia telah terbiasa dengan segala bentuk perbedaan. Sehingga sudah semakin dewasa dalam menghadapi konflik dan benturan yang ada. Namun senyatanya, meskipun lahir dan berkembang dalam keberagaman, konflik dan benturan yang berujung pada kekerasan masih sangat sering terjadi di Indonesia. Baik pemerintah maupun masyarakat ternyata belum mampu menemukan konsep yang cocok dengan keberagaman di Indonesia, meskipun keberagaman telah ada sebelum negara ini lahir.
 

Blogger news

Blogroll