Jumat, 05 Desember 2014

Ironi Sebuah Universitas Islam Negeri



Pernah ada dalam pikiran saya bahwa universitas adalah barometer pembaruan, mahasiswanya agen perubahan, dan kampusnya dipimpin rektor inspiratif. Rhenald Kasali
Sampai saat ini, Indonesia mempunyai ratusan sampai ribuan Perguruan Tinggi. Baik yang berstatus negeri maupun swasta. Kampus yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) umumnya adalah kampus umum sedangkan yang di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) adalah kampus yang “berhaluan” Islam. Tulisan ini tidak hendak membahas kampus umum, karena pada umumnya mereka tidak bermasalah. Akan tetapi hendak mengupas ironi kampus Islam di bawah naungan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama. Khususnya yang berstatus negeri. Lebih khusus lagi yang berada di Surabaya.
Tahun 2013 lalu, lima STAIN disetujui oleh Presiden Republik Indonesia beralih naik menjadi IAIN, yaitu STAIN Ternate, STAIN Palu, STAIN Pontianak, STAIN Padang Sidimpuan, dan STAIN Tulung Agung. Kelima IAIN baru ini diresmikan perubahannya oleh Menteri Agama, diawali dengan peresmian IAIN Palu pada tanggal 1 Desember 2013, dan berturut-turut diikuti oleh empat IAIN lainnya. Peresmiannya sudah selesai semua sebelum akhir tahun 2013.
Bersamaan dengan itu, Presiden juga menyetujui perubahan status dua IAIN menjadi UIN. Kedua UIN baru tersebut adalah UIN Sunan Ampel Surabaya, dan UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dengan demikian, Kementerian Agama kini memiliki delapan (8) UIN, 19 IAIN, dan sisasnya sebanyak 27 STAIN yang tersebar di seluruh Indonesia.

Masih Sebatas Nama

Perubahan status dari STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam) menjadi IAIN (Institut Agama Islam) kemudian beralih lagi menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) pasti mempunyai dampak tersendiri bagi civitas akademika di masing-masing Perguruan Tinggi. STAIN dan IAIN mempunyai bidang keilmuan yang serumpun yakni mengenai ilmu-ilmu agama sedangkan UIN memiliki bidang keilmuan yang integral, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pengintegrasian ilmu agama dan ilmu umum ini menuai berbagai pro dan kontra. Banyak yang setuju demi kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak sedikit yang menganggap pengintegrasian ini akan mengesampingkan ilmu agama.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, secara berurutan, STAIN, IAIN dan UIN merupakan strata tingkatan kampus berdasarkan barometer kualitas dan kuantitas. Seharusnya UIN sudah pasti harus lebih berkualitas daripada IAIN. Begitu juga IAIN harus lebih berkualitas daripada STAIN. Jangan sampai sebaliknya, UIN malah jauh lebih terbelakang daripada IAIN atau STAIN. Berkualitas dalam arti lebih baik lagi dari segi akademik, struktur, infrastruktur maupun pelayanannya.
Seperti yang telah tercatat di atas bahwa Kementerian Agama kini memiliki 8 Universitas Islam Negeri. Delapan kampus yang berstatus UIN itu adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, UIN Alaudin Makasar, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Gunung Djati Bandung, UIN Sultan Syarif Qasim Riau, UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan UIN Sunan Ampel Surabaya. UIN yang terakhir disebut akan kita bahas dalam tulisan ini.
UIN Sunan Ampel Surabaya yang baru saja bermetamorfosis menjadi Universitas pada akhir tahun lalu masih menuai pro dan kontra. Umumnya banyak mahasiswa dan dosen yang kecewa. Mereka menilai bahwa perubahan status menjadi UIN masih sebatas nama. Dari segi kualitas masih sama. Apalagi infrastruktur berupa gedung dan ruang perkuliahan masih terkesan amburadul. Nama UIN hanya terpampang di pintu gerbang masuk, di logo, di cover makalah dan di kop-kop surat.
Meskipun secara legal formal status UIN Sunan Ampel sudah diresmikan berdasarkan Peraturan Presiden (PP) No. 65 tahun 2013 dan dilaunching oleh Menteri Agama pada Rabu, 4 Desember 2013 lalu, akan tetapi setelah peresmian itu belum terlihat geliat kemajuannya. Peraturan dan tata kelola administrasi masih menggunakan cara lama. Birokrasinya masih sama. Sama-sama ruwet dan menyulitkan. Pemimpinnya masih sama. Sama-sama sibuk dengan permainan politik praktis kampus.
Kondisi itu semakin jelas ketika kita merasakan sendiri betapa amburadulnya kampus ini. Misalnya, tata ruang kampus yang berjejal oleh parkir motor yang tidak beraturan, mangkraknya bangunan yang telah dirobohkan, ruang kuliah yang tidak representatif karena tidak jelas, kondisi jalan kampus yang mirip jalanan kampung primitif dan masih banyak lagi kekurangan yang semestinya harus diperbaiki.

Pemimpin yang Inspiratif

Sepertinya kita patut merefleksikan pernyataan Rhenal Kasali yang penulis kutip di awal tulisan ini. Pernyataan itu pernah dimuat di Harian Kompas, 27 Agustus 2013 dalam kolom opini yang berjudul “Rektor-rektor Administratif”. Dalam artikel tersebut, Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sekaligus Pendiri Rumah Perubahan, mengungkapkan kegalauannya tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Rhenald mengatakan bahwa pemimpin universitas yang ada di Indonesia masih terpaku kepada jumlah lulusan bukan kepada kualitas para alumninya.
Lebih jauh Rhenald memberi masukan bahwa kampus yang sehat bukan hanya belajar dari buku, dosen, dan laboratorium, melainkan juga cara rektornya memimpin dan memberi contoh. Kampus membutuhkan pemimpin yang inspiratif dan revolusioner yakni rektor yang jejak-jejak langkahnya tidak hanya ilmiah, tetapi berdampak riil terhadap perubahan. Mereka turun tangan terlibat dalam masalah aktual sehingga gerakannya punya pengaruh yang kuat. Karena kata-kata dan gerakannya inspiratif, mereka menjadi terkenal, bukan sebaliknya.
Akan tetapi saat ini, kita justru sulit menemukan rektor-rektor inspiratif. Semuanya hanya sibuk mengurus mahasiswa baru, administrasi keuangan, kepegawaian, pemilihan dekan, pengukuhan guru besar, seminar dan berbagai urusan formalitas lain. Pokok pekerjaannya adalah administratif, rutin, dan membuat laporan.
Dengan metode kerja seperti itu, jelas universitas sulit menghasilkan pembaruan, apalagi mencetak agen perubahan. Di dalam tempurungnya yang gelap, banyak ditemui perselisihan paham seputar perebutan peran administratif dan alokasi anggaran, politik kampus, dan kecemburuan.
Kedepan, apabila kampus ini masih memiliki pemimpin (rektor) yang seperti itu jangan harap ada kemajuan yang signifikan. Kampus butuh rektor yang inspiratif, yang mengesampingkan politik kampus, yang menanggalkan mental-mental birokrasi berbelit. Maka, jika itu bisa terlaksana dapat dipastikan kampus ini akan menjadi UIN yang benar-benar terasa UIN bukan yang terasa IAIN apalagi UIN yang terasa STAIN.

*) Mantan Ketua I Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) UIN Sunan Ampel Surabaya dan tulisan ini diterbitkan dalam Koran Dwiwulan Beranda LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel edisi Maret - Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan anda dan kami tunggu komentarnya

 

Blogger news

Blogroll