Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*
Pernah ada dalam pikiran saya bahwa universitas adalah barometer
pembaruan, mahasiswanya agen perubahan, dan kampusnya dipimpin rektor
inspiratif. Rhenald Kasali
Sampai saat ini, Indonesia mempunyai ratusan sampai ribuan
Perguruan Tinggi. Baik yang berstatus negeri maupun swasta. Kampus yang di bawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) umumnya adalah
kampus umum sedangkan yang di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) adalah
kampus yang “berhaluan” Islam. Tulisan ini tidak hendak membahas kampus umum,
karena pada umumnya mereka tidak bermasalah. Akan tetapi hendak mengupas ironi
kampus Islam di bawah naungan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama.
Khususnya yang berstatus negeri. Lebih khusus lagi yang berada di Surabaya.
Tahun 2013 lalu, lima STAIN disetujui oleh Presiden Republik Indonesia
beralih naik menjadi IAIN, yaitu STAIN Ternate, STAIN Palu, STAIN Pontianak,
STAIN Padang Sidimpuan, dan STAIN Tulung Agung. Kelima IAIN baru ini diresmikan
perubahannya oleh Menteri Agama, diawali dengan peresmian IAIN Palu pada
tanggal 1 Desember 2013, dan berturut-turut diikuti oleh empat IAIN lainnya.
Peresmiannya sudah selesai semua sebelum akhir tahun 2013.
Bersamaan dengan itu, Presiden juga menyetujui perubahan status dua
IAIN menjadi UIN. Kedua UIN baru tersebut adalah UIN Sunan Ampel Surabaya, dan
UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dengan demikian, Kementerian Agama kini memiliki
delapan (8) UIN, 19 IAIN, dan sisasnya sebanyak 27 STAIN yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Masih Sebatas Nama
Perubahan status dari STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam) menjadi
IAIN (Institut Agama Islam) kemudian beralih lagi menjadi UIN (Universitas
Islam Negeri) pasti mempunyai dampak tersendiri bagi civitas akademika di
masing-masing Perguruan Tinggi. STAIN dan IAIN mempunyai bidang keilmuan yang
serumpun yakni mengenai ilmu-ilmu agama sedangkan UIN memiliki bidang keilmuan
yang integral, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pengintegrasian ilmu
agama dan ilmu umum ini menuai berbagai pro dan kontra. Banyak yang setuju demi
kemajuan ilmu pengetahuan dan tidak sedikit yang menganggap pengintegrasian ini
akan mengesampingkan ilmu agama.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, secara berurutan, STAIN,
IAIN dan UIN merupakan strata tingkatan kampus berdasarkan barometer kualitas
dan kuantitas. Seharusnya UIN sudah pasti harus lebih berkualitas daripada
IAIN. Begitu juga IAIN harus lebih berkualitas daripada STAIN. Jangan sampai sebaliknya,
UIN malah jauh lebih terbelakang daripada IAIN atau STAIN. Berkualitas dalam
arti lebih baik lagi dari segi akademik, struktur, infrastruktur maupun
pelayanannya.
Seperti yang telah tercatat di atas bahwa Kementerian Agama kini
memiliki 8 Universitas Islam Negeri. Delapan kampus yang berstatus UIN itu
adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, UIN
Alaudin Makasar, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Gunung Djati Bandung,
UIN Sultan Syarif Qasim Riau, UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan UIN Sunan Ampel
Surabaya. UIN yang terakhir disebut akan kita bahas dalam tulisan ini.
UIN Sunan Ampel Surabaya yang baru saja bermetamorfosis menjadi
Universitas pada akhir tahun lalu masih menuai pro dan kontra. Umumnya banyak
mahasiswa dan dosen yang kecewa. Mereka menilai bahwa perubahan status menjadi
UIN masih sebatas nama. Dari segi kualitas masih sama. Apalagi infrastruktur
berupa gedung dan ruang perkuliahan masih terkesan amburadul. Nama UIN hanya
terpampang di pintu gerbang masuk, di logo, di cover makalah dan di kop-kop
surat.
Meskipun secara legal formal status UIN Sunan Ampel sudah
diresmikan berdasarkan Peraturan Presiden (PP) No. 65 tahun 2013 dan dilaunching
oleh Menteri Agama pada Rabu, 4 Desember 2013 lalu, akan tetapi setelah
peresmian itu belum terlihat geliat kemajuannya. Peraturan dan tata kelola
administrasi masih menggunakan cara lama. Birokrasinya masih sama. Sama-sama
ruwet dan menyulitkan. Pemimpinnya masih sama. Sama-sama sibuk dengan permainan
politik praktis kampus.
Kondisi itu semakin jelas ketika kita merasakan sendiri betapa
amburadulnya kampus ini. Misalnya, tata ruang kampus yang berjejal oleh parkir
motor yang tidak beraturan, mangkraknya bangunan yang telah dirobohkan, ruang
kuliah yang tidak representatif karena tidak jelas, kondisi jalan kampus yang
mirip jalanan kampung primitif dan masih banyak lagi kekurangan yang semestinya
harus diperbaiki.
Pemimpin yang Inspiratif
Sepertinya kita patut merefleksikan pernyataan Rhenal Kasali yang
penulis kutip di awal tulisan ini. Pernyataan itu pernah dimuat di Harian
Kompas, 27 Agustus 2013 dalam kolom opini yang berjudul “Rektor-rektor
Administratif”. Dalam artikel tersebut, Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sekaligus Pendiri Rumah Perubahan,
mengungkapkan kegalauannya tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Rhenald
mengatakan bahwa pemimpin universitas yang ada di Indonesia masih terpaku
kepada jumlah lulusan bukan kepada kualitas para alumninya.
Lebih jauh Rhenald memberi masukan bahwa kampus yang sehat bukan
hanya belajar dari buku, dosen, dan laboratorium, melainkan juga cara rektornya
memimpin dan memberi contoh. Kampus membutuhkan pemimpin yang inspiratif dan
revolusioner yakni rektor yang jejak-jejak langkahnya tidak hanya ilmiah,
tetapi berdampak riil terhadap perubahan. Mereka turun tangan terlibat dalam
masalah aktual sehingga gerakannya punya pengaruh yang kuat. Karena kata-kata
dan gerakannya inspiratif, mereka menjadi terkenal, bukan sebaliknya.
Akan tetapi
saat ini, kita justru sulit menemukan rektor-rektor inspiratif. Semuanya hanya
sibuk mengurus mahasiswa baru, administrasi keuangan, kepegawaian, pemilihan dekan,
pengukuhan guru besar, seminar dan berbagai urusan formalitas lain. Pokok
pekerjaannya adalah administratif, rutin, dan membuat laporan.
Dengan metode
kerja seperti itu, jelas universitas sulit menghasilkan pembaruan, apalagi
mencetak agen perubahan. Di dalam tempurungnya yang gelap, banyak ditemui
perselisihan paham seputar perebutan peran administratif dan alokasi anggaran,
politik kampus, dan kecemburuan.
Kedepan, apabila kampus ini masih memiliki pemimpin (rektor) yang seperti
itu jangan harap ada kemajuan yang signifikan. Kampus butuh rektor yang inspiratif,
yang mengesampingkan politik kampus, yang menanggalkan mental-mental birokrasi
berbelit. Maka, jika itu bisa terlaksana dapat dipastikan kampus ini akan
menjadi UIN yang benar-benar terasa UIN bukan yang terasa IAIN apalagi UIN yang
terasa STAIN.
*) Mantan Ketua I Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) UIN Sunan
Ampel Surabaya dan tulisan ini diterbitkan dalam Koran Dwiwulan Beranda LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel edisi Maret - Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda dan kami tunggu komentarnya